Suasana malam itu begitu dingin, angin berhembus kencang hingga batang rumbia yang berada tepat dibelakang kamarku terayun-ayun hingga menyentuh sedikit keras seng kamar. Aku sangat terkejut, kulihat sekilas kearah teman yang satu kamar denganku begitu lelap dalam tidurnya, sepertinya mereka menikmati tidurnya dengan alunan angin malam. Kubalikkan badanku berhadapan dengan dinding, kupeluk bantal guling erat-erat. Dan kutarik selimut hingga seluruh tubuhku tertutupi.
“Astagfirullah” ucapku merinding dalam hati, tiba-tiba saja hatiku langsung tenang, nyaman dan kucoba untuk memejamkan mata untuk memulai tidurku.
Tak begitu lama aku memejamkan mata tiba-tiba terdengar suara jeritan dari kamar sebelah. Perlahan-lahan suara itu mengecil dan hilang bagai ditelan angin malam.
“Pasti ngigo” ucapku dalam hati sekedar untuk menenangkan diri, dan kembali kupejamkan mata ini, hingga benar-benar tertidur sampai pagi hari.
*****
Ruang makan diasrama itu selalu penuh tiap pagi, Karena aktivitas anak-anak yang mungkin pergi sekolah ataupun ke kampus. Tapi lain dengan pagi ini, banyak anak-anak yang masih berdiri di lapangan seukuran permainan bola volley. Sepertinya mereka membahas sesuatu yang menurutku sedikit aneh.
“Eh, tadi malam ada dengar jeritan gak…??? Tanya Mira yang kamarnya berada tepat didepan kamarku.
“Jeritan apa..??? Tanya mereka yang tak mendengarnya sama sekali.
“Aku mendengarnya..” sahutku ikut gabung.
“Oya nadia, kamu dengar juga jeritan tadi malam” selidik mereka penasaran.
“Ia, tapi gak jelas jeritannya itu apa…???
“sependengaran aku dia menyebut-nyebut kata”Brengsek, Bajingan, Kurang ajar” sahut Mira meyakinkan.
Aku hanya menganggukkan kepala, tanda menyakinkan mereka semua.
“Tapi siapa yang menjerit itu…??? Sepertinya asal suaranya dari samping kamar Nadia. Dan aku hanya bisa meyakinkan perkataan Mira lagi.
Obrolan kami masih gantung belum terpecahkan karena pintu rumah pimpinan pondok terdengar, sepertinya ada yang mau keluar, akhirnya kami bubar.
Malam kembali datang dengan suasana yang sama, ku ajak Mira untuk tidur di kamarku malam itu, tepat pukul 01.00 malam, kami berdua kembali mendengar suara jeritan itu, lebih keras dari malam kemarin sambil terisak-isak sedih. Aku dan Mira mencoba untuk mendatangi kamarnya dengan perasaan takut, kami mencoba membuka pintu kamarnya, khawatir pintu kamarnya terkunci dan kami tidak bisa menyaksikan siapa yang menjerit itu. Tapi tidak, kami berhasil masuk karena ternyata pintu kamarnya tidak terkunci. Jeritan itu masih saja terdengar dengan air mata yang begitu deras, wajahnya memerah, kelopak matanya keliatan bengkak, tangannya mulai meremas-remas gulingnya geram, kakinya seperti menendang-nendang sesuatu.
“Rasti…??? Kataku pelan,
Kuperhatikan teman yang satu kamar dengannya begitu lelap tidurnya seolah-olah tak ada yang terjadi. Kubisikkan dekat ke telinga Mira, untuk membangunkannya saja, ia mengangguk setuju. Kulihat Mira mulai membangunkan Rasti dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan sedikit keras. Dan berhasil, dia terbangun dengan keadaan heran melihat kami berdua berdiri tepat di samping ranjangnya. Tapi air matanya masih berlinang di pipinya yang merah padam.
“Ngapain kak bangunin saya, ada apa…??? Tanyanya sedikit heran sambil mengeryitkan keningnya.
“Rasti, beberapa malam ini kakak sering mendengar Rasti menjerit-jerit hingga saat ini dan anehnya kamu sampai terisak-isak begini, lihat saja dipipimu, air matanya saja belum mengering…”jelasku penasaran.
Kulihat ia memengang wajahnya dan mulai menghapus air matanya dengan selimut yang masih menutupi setengah tubuhnya. Dia mulai terisak lagi, dia benar-benar menangis sekencang-kencangnya, untung saja dia menutup suaranya dengan selimut. Kudekati dia seraya kupeluk erat tubuhnya, Mira menggosok-gosok badannya untuk menenangkan , hingga ia benar-benar sedikit tenang dan mencoba untuk menjelaskan, kenapa ia menjadi begini.
Awalnya dia mengatakan kalau dia sangat sayang kepada kedua orang tuanya. Hingga ia mulai menangis lagi sambil bercerita 10 tahun yang lalu pada masa komplik merajalela, ketika ia masih kecil dan masih duduk dibangku kelas 2 SD. Pada saat itu dua orang pemuda tinggi besar berwajahkan seram laksana singa kelaparan mengedor-gedor pintu rumahnya yang sederhana itu. Dia hanya bisa menangis ketakutan menyaksikan adegan yang tak diinginkannya itu lewat lobang kecil di balik jendela kamarnya, kedua pemuda itu menyeret kedua orangtuanya kehalaman depan rumah, sambil menyepak bagian perut dan kepala ayahnya. ia tak berani melihat dengan mata kepalanya sendiri, ketika salah satu pemuda itu mengarahkan `senjata dekat dibagian kepala ayahnya dan terdengarlah bunyi tembakan yang sangat keras, pada saat itulah ia mendengar teriakan ibunya dan tak lama suara itu menghilang ketika tembakan kedua ditancapkan. Dia hanya bisa menahan tangisnya dari balik jendela, takut akan ketahuan oleh kedua penjahat jahannam itu. Tak lama setelah nyawa kedua orang tuanya habis ditelan singa itu, kedua pemuda jahannam itu pergi meninggalkan orang tuanya yang membanjiri darah disekitar mayat mereka dengan tertawa membahana.
Suasana malam pada kejadian itu, sama dengan suasana malam akhir-akhir ini. Ia mengatakan menunggu sendiri didekat kedua orangtuanya yang masih berlumuran darah segar, untuk menunggu pagi tiba.
Tak lama setelah dia menyelesaikan ceritanya dan diam beberapa saat, kulihat ia sedikit tenang dan kembali menarik selimutnya untuk tidur, kulihat sekilas garis-garis diwajahnya menandakan kelelahan yang amat dalam. Aku dan Mira juga tertidur dikamar Rasti untuk menutup cerita gadis malang ini.
Hingga saat ini Rasti masih trauma atas kejadian yang menimpa kedua orangtuanya, akibatnya ia sering sendiri, sedikit berbicara, bahkan jarang senyum, dia hanya sering bersenda gurau dan membawa kemana-mana boneka bear pemberian ibunya ketika ia masih duduk di kelas 1 SD.
Aku merasakan kesedihan yang amat dalam, jika aku mencoba kembali membayangkan kisah Rasti. Rasti yang malang, tapi pilihan Allah sahutku dalam hati seraya menutup kisah ini dengan doa untuk memulai tidurku tapi dengan suasana yang berbeda, angin berhembus tenang menyentuh ke pori-pori kulitku dengan bersahabat.
Kedewasaan Rasti membuat raut-raut seram di wajahnya semakin jelas, Rasti yang dulu dikenal berparas aceh india itu kini sedikit demi sedikit hilang di telan kedewasaan Rasti, usianya tidak sebanding dengan tingkah lakunya saat ini, yang mana Rasti selalu menggunakan otot untuk menutupi kepuasaannya, dan kebanyakan anak-anak diasrama semakin tidak senang melihat kelakuan Rasti yang keterlaluan, yang suka main kekerasan jika dicandai oleh temannya. Rasti seolah-olah berubah menjadi monster dan lebih sering di katakan lagi srigala oleh teman-teman di sekolah, dan itu membuat Rasti semakin kebal dengan yang namanya kejahatan. Kerap suatu kali kejadian di asrama, Santi teman dekatnya dulu sedang mencandainya sambil tertawa-tawa, tapi anehnya Rasti menanggapinya salah, seolah-olah Santi mengolok-olok dirinya. Tiba-tiba saja Rasti menjambak-jambak rambut Santi dengan sekeras-kerasnya, Santi yang menangis sambil menjerit karena kesakitan, membuat seluruh asrama gempar. Untung saja ada beberapa orang dari kami menarik tangan Rasti dan segera melaporkan kejadian itu langsung kepimpinan pondok. Tapi anehnya Rasti malah menyebut kata-kata yang tak pantas di ucapkannya apalagi kepada pimpinan pondok yang selama ini kami anggap orang tua sendiri, semua anak-anak semakin takut ketika Rasti mengambil sapu sambil melempar ke arah pimpinan pondok, untung saja pimpinan pondok mengelak dan sapu yang Rasti lempar sasarannya ke jendela kaca yang kini sudah pecah berkeping-keping kecil. Karena kelelahan Rasti akhirnya duduk termangu diatas lantai yang dingin akibat cuaca hari itu mendung, sambil menatap kosong kearah yang jauh diatas langit biru sana.
Beberapa hari setelah kejadian itu, salah satu dari Pembina pondok menemukan selembar kertas tepat di atas ranjang tidur Rasti, yang bertuliskan “Tak akan Ku biarkan Bahagia Seorangpun yang telah Menghancurkan Kebahagian Hidupku”